Kamis, 14 April 2011

Hidup Seperti Secangkir Teh

Oleh: DR. Christine Fald*
Menikmati secangkir teh hangat di pagi atau sore hari, seraya bersantai sejenak, merupakan kegiatan sederhana yang menyenangkan. Tradisi minum teh, di beberapa negara menjadi kegiatan penuh makna, berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan yang mereka percayai. Daun teh, air panas, dan berkumpul bersama meminum teh, tidak lagi sekadar menikmati waktu atau menyantap sebuah hidangan, prosesinya memuat lebih banyak nilai dari sekadar sebuah kegiatan.
Nilai menarik lain yang saya temukan tentang teh adalah, bagaimana ia juga dapat dipakai untuk menggambarkan keadaan kehidupan kita. Teh celup, dapat mengeluarkan inti teh, hanya ketika diseduh air panas. Inti teh yang tersimpan dalam daun-daun teh kering itu dipaksa ke luar ketika bertemu dengan air panas dan terus mengeluarkan warna dan rasa yang tepat ketika berulang-ulang dicelupkan ke dalam air panas. Anda tentu tahu, tidak akan ada teh yang dihasilkan dengan air dingin.
Sama halnya dengan kita, ketika kehidupan mengantar kita pada keadaan sulit dan penuh tantangan, inti potensi kita “dipaksa” keluar dan menghasilkan sesuatu. Kita akan mengubah warna dan rasa pada wadah hidup yang kita jalani setelah mengalami proses “diseduh”’ dengan air panas, diaduk, diputar berkali-kali, dan dicelup berulang-ulang. Keberadaan kita dikitari dengan “seduhan air panas” tantangan, hanya agar kita menghasilkan sesuatu yang lebih baik, mengubah keadaan, menemukan keistimewaan dalam diri kita, dan bermanfaat bagi banyak orang.
Masalahnya, tidak banyak orang menyadari bahwa, proses penyeduhan itu membawa kita pada tingkatan pencapaian yang lebih tinggi dari sebelumnya. Lebih banyak orang memilih menolak keadaan sulit, menyerah pada keadaan dan kondisi, serta memilih jalan instan yang nyaman, tanpa risiko, dan bebas hambatan. Kemudian, memilih menjadi “teh kotak.” Mereka suka tinggal diam, stabil, dan “didinginkan” dalam “kulkas” kenyamanan.
Hidup kita, tidak bisa berhenti karena sebuah keadaan atau kondisi yang tidak nyaman. Kita perlu terus bergerak mengikuti proses pembentukan itu, untuk menghasilkan kehidupan maksimal: Tangguh, Teguh, Tahan Uji, Berkualitas. Masalah memang akan menguras pikiran, tenaga dan emosi kita. Tetapi, dalam beberapa hal, masalah membuat hidup kita maksimal. Sebaliknya, kenyamanan akan menjadi pembunuh kemaksimalan kita. Tinggal dalam keadaan serba nyaman membuat orang terikat pada keadaan dan kebiasaan cepat jadi, bebas hambatan dan “semua bisa diatur.” Padahal, “Ujian karakter seseorang adalah bagaimana ia menangani kesengsaraan hidup.” -Wayne Cheng.
Jujur dan Nilai Kejujuran
Karakter tidak dilahirkan dalam sehari. Keputusan-keputusan yang kita ambil setiap hari, melalui proses penyerapan nilai-nilai yang kita anut, menghasilkan tindakan-tindakan yang merefleksikan karakter kita sesungguhnya. Sadar atau tidak sadar, setiap kali kehidupan meminta kita bereaksi tentang sesuatu, di sanalah terpancar inti nilai kehidupan kita sesungguhnya.
Karakter bukanlah warisan, tetapi prestasi yang dibangun seseorang melalui usaha memerbaiki pikiran dan tindakan, sedikit demi sedikit, dan terus-menerus. Ingat! Karakter adalah tentang bagaimana Anda sebenarnya, bukan sekadar siapa Anda sesungguhnya. Karakter pertama yang penting dimiliki adalah Karakter Kejujuran. Nilai kejujuran menjadi penting karena esensi-nya membawa kita pada keberhasilan memelihara konektivitas spiritualitas dan emosional, baik terhadap Tuhan maupun sesama, sebuah sari memaknai hidup. Kejujuran adalah pondasi pembentuk karakter baik.
Menjadi jujur tidak mudah, terlebih pada diri sendiri. Ada begitu banyak penyangkalan yang dapat dilakukan seseorang setiap hari atas keadaannya sendiri. Padahal, meski terkesan tidak menyenangkan dan beruntung, keadaan-keadaan itu justru akan membawa perubahan dan peningkatan nilai hidup jika kita dapat menerimanya dan melalui prosesnya, sesulit apa pun. Ketidakpuasan adalah alasan utama mengapa seseorang menyangkali keadaan sebenarnya, dan tidak jujur pada dirinya sendiri.
Hal pertama untuk melatih kejujuran adalah Self-Acceptance, menerima keadaan diri sebagaimana adanya. Ketika seseorang dapat menerima dirinya, kehidupan dan keadaannya, ia benar-benar dapat mengatasi keadaan sulit jauh lebih baik. Ketika nilai kejujuran dibiasakan tumbuh di dalam dirinya, ia tidak akan kesulitan mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial. Menerima keadaan apa adanya, adalah pangkal seseorang bertolak menuju proses pendewasaan mental, di mana ia dapat mengelola dengan cerdas keadaan-keadaan itu, dan mampu mengatasi keterbatasannya untuk dapat tampil mencuat (stand-out) dari kebanyakan orang umumnya.
Hal berikutnya adalah membiasakan kejujuran (take honesty as habit). Tidak ada kebohongan besar atau kebohongan kecil, dusta terpaksa atau dusta untuk kebaikan; meski dipakai untuk berbagai alasan dengan beragam istilah. Tidak jujur adalah pengingkaran kebenaran. Biasanya, kebohongan satu disusul kebohongan lain, untuk menutupi yang pertama, demikian seterusnya. Tidak ada yang diuntungkan dari kebohongan.
Belajarlah jujur terhadap diri sendiri, meski orang lain tak melihatnya. Kebersihan hati terjaga saat kita memelihara kejujuran dalam hidup. Membiasakan kejujuran, membuat kita bertumbuh untuk hidup kini dan nanti. Hati yang bersih membukakan pikiran jernih, melapangkan jalan, menginspirasi kebaikan-kebaikan lain, mendewasakan iman dan menghasilkan perbuatan terpuji. Sebagaimana air memantulkan wajah kita, demikian juga hati menunjukkan siapa sebenarnya diri kita.
Temukan keistimewaan diri dengan menjadi jujur. Berlatihlah, biasakanlah, dan bagikan kebiasaan itu. Anda tidak akan menjadi mahir dalam semalam, tetapi sehari hidup jujur membawa Anda setingkat lebih maju dari sebelumnya: sebuah proses kehidupan yang menghasilkan kualitas terbaik tentang Anda.
Terserah Anda, pilih “teh celup” atau “teh kotak”?

Tidak ada komentar: